Dunia periklanan saat ini telah menjadi dunia yang besar, dunia yang memiliki banyak penggemar. Iklan telah menjadi media andalan bagi para produsen untuk memperkenalkan produk mereka. Karena tidak dapat dipungkiri, iklan mampu menyihir banyak khalayak. Pada dasarnya, periklanan merupakan sebuah bentuk komunikasi massa yang digunakan oleh pengiklan untuk menyampaikan pesan-pesan atau informasi kepada khalayak melalui media tertentu (Suhandang, 2005). Pesan yang terkandung dalam iklan memiliki pengaruh luar biasa terhadap khalayak untuk memicu terjadinya konsumsi produk. Hingga akhirnya produk tersebut, sadar tidak sadar, telah menjadi bagian dari kehidupan konsumen. Salah satunya melalui acara Idol Hi-Five, dalam acara tersebut diperlihatkan bagaimana para idol (peserta Indonesian Idol) selalu mengkonsumsi produk Indomie atau menggunakan atribut-atribut Indomie di segala kesempatan dalam keseharian mereka.
Iklan televisi memang telah menjadi kekuatan baru yang mampu mempengaruhi khalayak untuk melakukan apa yang diinginkan pengiklan secara sukarela. Imbas dari suguhan iklan tak lain telah mengkondisikan mengungkap kondisi yang sebenarnya khalayak untuk mengeluarkan uang, hanya untuk sekedar mencoba suatu produk baru yang ditawarkan dalam iklan. Bahkan tak jarang, semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan akan gaya hidup modern.
Televisi, merupakan primadona media yang memberikan kontribusi luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Televisi dipandang sebagai alat komunikasi yang "harus" ada dalam sebuah keluarga. Singkatnya, media televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam deretan media informasi, televisi memiliki daya penetrasi terbesar dibandingkan media lainnya. Seperti yang ditunjukkan oleh data dari Media Index-Nielsen Media Research pada tahun 2004 (Wirodono, 2006). Diperlihatkan bahwa penetrasi media televisi mencapai 90,7%, radio 39%, surat kabar 29,8%, majalah 22,4%, internet 8,8% dan bioskop 15%. "Potongan kue" untuk belanja iklan terbanyak pada tahun 2001 pun sukses diraih media televisi dengan angka 72%, sedangkan surat kabar dan majalah masing-masing hanya mendapat jatah 23% dan 5% (data AC Nielsen, dalam Sumartono, 2002). Jelas, media televisi merupakan media periklanan favorit bagi para produsen untuk mengkomunikasikan produknya.
Pada prakteknya, iklan televisi membutuhkan frekuensi dan intensitas dalam penyampaiannya. Karena dengan begitu maka iklan tersebut dapat benar-benar meresap dalam benak khalayak. Seperti kata Adhy Trisnanto, dalam bukunya Cerdas Beriklan (2007), yang menyebutkan bahwa iklan bukanlah sulap. Serba instan, serba ajaib. Sangat tidak mungkin, sebuah produk akan langsung terkenal hanya dengan satu atau dua kali pengiklanan. Semua tetap membutuhkan proses.
Langkah terpenting dalam mengembangkan sebuah program pembuatan iklan adalah mengenali khalayak sasaran iklan tersebut. Dengan mengetahui profil khalayak sasarannya yang mencakup gaya hidup, sikap, dan nilai-nilai pemikirannya, maka akan memudahkan pembuatan model iklannya (Suhandang, 2005). Jenis sasaran yang dituju iklan bermacam-macam, tergantung produk yang diiklankan. Bila dilihat dari golongan usia maka sasaran tersebut antara lain anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua.
Diantara golongan tersebut, remaja merupakan sasaran yang sangat menjanjikan bagi para produsen. Hal ini dapat dimengerti, mengingat usia remaja adalah usia yang sangat rentan terhadap pengaruh luar. Masa remaja merupakan masa peralihan seorang individu. Pada masa ini, seorang remaja akan berusaha mencari identitas dirinya. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang harus dipersiapkan untuk memasuki fase dewasa yang akan mereka hadapi.
Sajian iklan televisi yang atraktif dengan kreasi pesan yang menarik, mampu mempersuasi kaum remaja dengan sempurna. Belum lagi kehadiran public figure, membuat remaja selalu tertarik untuk mencoba produk yang ditawarkan. Tujuan utama dari demonstrasi produk di televisi tersebut, tentu saja diharapkan adanya perubahan sikap dan perilaku pada remaja. Imbas dari itu semua, adalah munculnya perilaku konsumtif di kalangan remaja.
Perilaku konsumtif ini dapat diartikan sebagai suatu perilaku atau tindakan yang berlebihan terhadap penggunaan suatu produk (Sumartono, 2002). Istilah "korban iklan", sepertinya tepat bila digunakan sebagai titel bagi remaja yang terperosok dalam perilaku berlebihan ini. Menurut Wirodono (2006) dogma-dogma, instruksi-instruksi, dan irasionalitas yang dijejalkan secara overdosis dalam bahasa penyampaian iklan memiliki sumbangan penting terhadap tumpulnya kecermatan berpikir, kebebasan dalam menentukan pilihan, atau kemandirian untuk berbeda dengan yang lain. Iklan dan televisi dianggap telah menjadikan masyarakat seragam dan konsumtif.
Bukan hal aneh bila remaja saat ini rela menghabiskan uang jajannya untuk membeli produk-produk iklan yang mereka inginkan, bukan mereka butuhkan. Untuk menjaga penampilan, mereka gunakan aksesoris dan aneka kosmetik teranyar. Bukan hanya untuk menarik perhatian, tapi juga untuk simbol bahwa mereka adalah remaja modern yang tidak pernah ketinggalan trend terbaru. Varian ponsel terbaru dengan fitur-fitur canggih pun tidak terlewatkan. Berganti-ganti handphone adalah "kewajiban" bagi mereka. Pada strata yang lebih tinggi, berganti-ganti motor atau mobil sebagai kendaraan pribadi juga lazim dilakukan. Semua dengan latar belakang prestige. Para remaja menganggap gaya hidup bermewah-mewah dengan berbagai merk terkenal tersebut sebagai hal yang wajar, karena dengan begitu mereka akan selalu trendi, tidak dianggap kuper (kurang pergaulan), dan memudahkan mereka untuk masuk dalam komunitas atau kelompok tertentu dalam lingkungannya.
Berbagai penelitian yang dirangkum Sumartono (2002) telah mendukung hal tersebut. Penelitian Lina dan Rosyid di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa remaja usia 16 s/d 18 tahun memiliki perilaku konsumtif dalam berpakaian, kosmetik, dan perhiasan. Lalu hasil penelitian Reynold yang menyatakan bahwa remaja usia 16 s/d 19 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penampilan diri.
Proses identifikasi remaja dalam masa perkembangannya, berhasil dimanfaatkan iklan televisi untuk menciptakan ketergantungan atas produk yang diiklankan. Remaja bergerak bukan atas dasar kebutuhan, melainkan semata-mata karena keinginan dan kesenangan. Terpaan iklan televisi merupakan faktor kuat penyebab perilaku konsumtif ini. Menurut Sumartono (2002), gejala munculnya perilaku konsumtif di kalangan remaja juga disebabkan oleh adanya terpaan iklan-iklan di televisi yang menyajikan pesan-pesan yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Iklan televisi sering tampil dengan menyuguhkan produk yang dilebihlebihkan, sehingga mendorong para remaja untuk mencobanya. Sebuah "kehidupan" yang didesain sedemikian rupa oleh pengiklan semata-mata untuk mempengaruhi remaja, Yasraf. A. Piliang (1997) mengistilahkannya sebagai realitas semu yang jelas menyesatkan.
Kode file : I010
File skripsi ini meliputi :
- Bab 1 – 5 lengkap (pendahuluan s/d penutup)
- Lampiran analisis
Bentuk file : PDF
Charge : Rp. 00000000000 (Free/Bonus),-