Selasa, 21 April 2009

Analisis Ekonomi Pemanfaatan Tanah Ulayat Dalam Usaha Perkebunan Kelapa Sawit

Tanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera Barat. Tanah ulayat memiliki  nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai  bahan baku industri. Kulit bumi atau tanah  merupakan asset masyarakat  yang selalu dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan secara subsisten dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu ditanah ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik.


Bagi masyarakat nagari pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam rangka  pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan padi,sayur-sayuran, buah-buahan namun kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah dan internasional kemudian tanah mulai ditanami dengan tanaman industri seperti karet, kasiavera,  kelapa sawit, kopi dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para  penanam modal. Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan yang diterima oleh  masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya orang ke Nagari  kepemilikan dan penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan status kepemilikan bersama ke  kepemilikan pribadi, suku lain,  negara dan para  investor  sehingga menimbulkan suatu persoalan ditengah masyarakat nagari.


            Kajian Muchtar (1983) tentang pengelolaan tradisional tanah ulayat  di Sumatera Barat diketahui,  tanah ulayat  sebagian besar diusahakan secara pribadi  dan sebagian ada juga yang diolah oleh  suku lain dalam nagari dengan sistem bagi hasil dalam bentuk “sasiah, sapaduo” sepatiga dan lain-lain.   Pola  pengelolaan ini  bagi masyarakat nagari hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (subsisten), namun belum bisa memenuhi kebutuhan untuk menabung dan investasi sebagai harapan dan tatangan kebutuhan ekonomi masa datang. 


  Pertumbuhan dan  perkembangan ekonomi dan penduduk nasional mendorong  pemerintah untuk melakukan usaha-usaha sebagai upaya untuk meningkatkan output nasional, sehingga penggunaan tanah untuk usaha-usaha bisnis modern semakin meningkat. Khusus di Sumatera Barat tanah yang masih belum terpakai merupakan tanah  milik   “Hak Ulayat”  yang dimiliki oleh  Nagari/suku/kaum yang dikenal dengan “Pusako Tinggi”  yang pengelolaannya tidak boleh dijual/gadaikan kepada pihak lain. Persoalan ini kemudian bisa dipecahkan dengan konsep “kemitraan”.  Konsep ini memberikan pengakuan atas hak ulayat nagari bagi masyarakat tempatan dan memberikan kesempatan kepada pemilik modal (Investor) melakukan bisnis dalam usaha-usaha yang memiliki keuntungan yang menjanjikan. 


UU Pokok Agraria sesungguh telah mengatur dan memberikan pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat,  maka  semestinya memang dalam pengelolaan yang melibatkan pihak luar harus memperhatikan eksistensi ini sebagai bagian dari upaya untuk penerapan sistem perundang-undangan agraria, penghormatan pemerintah atas “hak ulayat”  diwujudkan dengan model-model kemitraan antara pemilik modal  (investor) dengan masyarakat. Salah satu pola kemitraan itu adalah model kerjasama PIR-BUN  (Pola inti rakyat untuk perkebunan) yang dikembangkan awal tahun 1970 hingga awal  tahun 1990, pola ini merupakan  fasilitasi kredit bank dunia dan lembaga donor asing lainnya dalam bentuk pinjaman terhadap pengembangan sektor  perkebunan  besar di Indonesia. Pengembangan perkebunan besar ini dikembangkan dalam bentuk pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN  (PT Perkebunan Persero) dan swasta   dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat (Perorangan).


Pola  kemitraan  dan pengelolaan melalui pola plasma-inti  ini disatu sisi  memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode pembentukan itu,  sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan mengalami kemajuan yang pesat  hal  didukung oleh program perkebunan besar swasta nasional (PBSN) yang disubsidi oleh pemerintah (khudhori:2004).   Dan secara simultan memberikan dampak positif terhadap kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat namun disisi lain terjadi persoalan, eksternalitas negatif dan  konflik Penelitian awal yang peneliti lakukan persoalan itu terjadi karena dua hal  yakni  terjadinya penyimpangan atas perencanaan dan komitmen awal dengan pelaksanaan lapangan dan ketimpangan ekonomi antara warga masyarakat, ini terlihat dari  jumlah konsumsi dan pola hidup  dalam bentuk perumahan, pakaian dan tingkat pendidikan antara penduduk yang mendapatkan fasilitas plasma dengan petani lokal


Secara makro pada  akhir tahun 1990  (1997 –1999), perusahaan-perusahaan perkebunan mengalami kebangkrutan akibat krisis  keuangan  (moneter), sehingga  olah BPPN, perusahaan (corporate) tersebut dijual kepada pihak asing.  Persoalan ini secara kasat mata hampir terjadi disebagian besar daerah yang dijadikan sebagai pusat proyek perkebunan, salah satunya adalah di Kabupatan Pasaman, masyarakat nagari melakukan tuntutan atas komitmen yang telah dilakukan oleh investor atau pemilik kebun besar  atas  kesepakatan (MoU)  yang disepakati tidak dipenuhi oleh investor. Kemudian juga terlihat bahwa terdapat kesenjangan pendapatan masyarakat.. Temuan Walhi (1999)  menjelaskan bahwa Pola Plasma dan PIR menimbulkan persoalan yakni terjadinya perubahan penguasaan tanah  dari tanah ulayat (adat) ke-kepemilikian Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh perusahaan, terjadinya kesenjangan ekonomi, pemaksaaan produk yang dihasilkan oleh plasma dan resiko  harga jual produk diterima  oleh petani  plasma lebih besar, degradasi  mutu lingkungan  dan pelanggaran HAM yang ditandai  dengan hilangnya kebebasan  petani untuk menentukan jenis komoditi  pertanian  dan penentuan harga  sepihak  oleh perusahaan  sebagai penampung produk pertanian petani.


            Studi awal penelitian ini ditemukan kedua model yang  menimbulkan  kesenjangan ekonomi  di  tingkat masyarakat, kesenjangan pendapatan antara petani perorangan dengan petani plasma/anggota koperasi. Akibatnya pola konsumsi dan kelayakan hidup sosial antar masyarakat terdapat perbedaan yang mencolok.  Mencermati persoalan tersebut maka peneliti melakukan  kajian dan analisis yang mendalam terhadap pola pengelolaan tanah ulayat tesebut, pertanyaannya adalah bagaimana pola pengelolaan tanah ulayat dan manakah yang memiliki produktivitas  tinggi dan memberikan peran yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani.


 


 


DUNLUD FILE LENGKAP


 

1 komentar:

  1. Semoga saja penelitian ini cepat selesai.. dan menghasilkan hasil-hasil valid yang bisa 'pantas' dijadikan bahan pertimbangan bagi kebijakan selanjutnya..

    BalasHapus

Silakan order/tinggalkan pesan dan email, kami akan kirimkan email file pesanan anda (SMS ke 086755605984)