Tanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera Barat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri. Kulit bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan secara subsisten dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu ditanah ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik.
Bagi masyarakat nagari pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam rangka pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan padi,sayur-sayuran, buah-buahan namun kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah dan internasional kemudian tanah mulai ditanami dengan tanaman industri seperti karet, kasiavera, kelapa sawit, kopi dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para penanam modal. Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya orang ke Nagari kepemilikan dan penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan status kepemilikan bersama ke kepemilikan pribadi, suku lain, negara dan para investor sehingga menimbulkan suatu persoalan ditengah masyarakat nagari.
Kajian Muchtar (1983) tentang pengelolaan tradisional tanah ulayat di Sumatera Barat diketahui, tanah ulayat sebagian besar diusahakan secara pribadi dan sebagian ada juga yang diolah oleh suku lain dalam nagari dengan sistem bagi hasil dalam bentuk “sasiah, sapaduo” sepatiga dan lain-lain. Pola pengelolaan ini bagi masyarakat nagari hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (subsisten), namun belum bisa memenuhi kebutuhan untuk menabung dan investasi sebagai harapan dan tatangan kebutuhan ekonomi masa datang.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan penduduk nasional mendorong pemerintah untuk melakukan usaha-usaha sebagai upaya untuk meningkatkan output nasional, sehingga penggunaan tanah untuk usaha-usaha bisnis modern semakin meningkat. Khusus di Sumatera Barat tanah yang masih belum terpakai merupakan tanah milik “Hak Ulayat” yang dimiliki oleh Nagari/suku/kaum yang dikenal dengan “Pusako Tinggi” yang pengelolaannya tidak boleh dijual/gadaikan kepada pihak lain. Persoalan ini kemudian bisa dipecahkan dengan konsep “kemitraan”. Konsep ini memberikan pengakuan atas hak ulayat nagari bagi masyarakat tempatan dan memberikan kesempatan kepada pemilik modal (Investor) melakukan bisnis dalam usaha-usaha yang memiliki keuntungan yang menjanjikan.
UU Pokok Agraria sesungguh telah mengatur dan memberikan pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat, maka semestinya memang dalam pengelolaan yang melibatkan pihak luar harus memperhatikan eksistensi ini sebagai bagian dari upaya untuk penerapan sistem perundang-undangan agraria, penghormatan pemerintah atas “hak ulayat” diwujudkan dengan model-model kemitraan antara pemilik modal (investor) dengan masyarakat. Salah satu pola kemitraan itu adalah model kerjasama PIR-BUN (Pola inti rakyat untuk perkebunan) yang dikembangkan awal tahun 1970 hingga awal tahun 1990, pola ini merupakan fasilitasi kredit bank dunia dan lembaga donor asing lainnya dalam bentuk pinjaman terhadap pengembangan sektor perkebunan besar di Indonesia. Pengembangan perkebunan besar ini dikembangkan dalam bentuk pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero) dan swasta dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat (Perorangan).
Pola kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode pembentukan itu, sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan mengalami kemajuan yang pesat hal didukung oleh program perkebunan besar swasta nasional (PBSN) yang disubsidi oleh pemerintah (khudhori:2004). Dan secara simultan memberikan dampak positif terhadap kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat namun disisi lain terjadi persoalan, eksternalitas negatif dan konflik Penelitian awal yang peneliti lakukan persoalan itu terjadi karena dua hal yakni terjadinya penyimpangan atas perencanaan dan komitmen awal dengan pelaksanaan lapangan dan ketimpangan ekonomi antara warga masyarakat, ini terlihat dari jumlah konsumsi dan pola hidup dalam bentuk perumahan, pakaian dan tingkat pendidikan antara penduduk yang mendapatkan fasilitas plasma dengan petani lokal
Secara makro pada akhir tahun 1990 (1997 –1999), perusahaan-perusahaan perkebunan mengalami kebangkrutan akibat krisis keuangan (moneter), sehingga olah BPPN, perusahaan (corporate) tersebut dijual kepada pihak asing. Persoalan ini secara kasat mata hampir terjadi disebagian besar daerah yang dijadikan sebagai pusat proyek perkebunan, salah satunya adalah di Kabupatan Pasaman, masyarakat nagari melakukan tuntutan atas komitmen yang telah dilakukan oleh investor atau pemilik kebun besar atas kesepakatan (MoU) yang disepakati tidak dipenuhi oleh investor. Kemudian juga terlihat bahwa terdapat kesenjangan pendapatan masyarakat.. Temuan Walhi (1999) menjelaskan bahwa Pola Plasma dan PIR menimbulkan persoalan yakni terjadinya perubahan penguasaan tanah dari tanah ulayat (adat) ke-kepemilikian Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh perusahaan, terjadinya kesenjangan ekonomi, pemaksaaan produk yang dihasilkan oleh plasma dan resiko harga jual produk diterima oleh petani plasma lebih besar, degradasi mutu lingkungan dan pelanggaran HAM yang ditandai dengan hilangnya kebebasan petani untuk menentukan jenis komoditi pertanian dan penentuan harga sepihak oleh perusahaan sebagai penampung produk pertanian petani.
Studi awal penelitian ini ditemukan kedua model yang menimbulkan kesenjangan ekonomi di tingkat masyarakat, kesenjangan pendapatan antara petani perorangan dengan petani plasma/anggota koperasi. Akibatnya pola konsumsi dan kelayakan hidup sosial antar masyarakat terdapat perbedaan yang mencolok. Mencermati persoalan tersebut maka peneliti melakukan kajian dan analisis yang mendalam terhadap pola pengelolaan tanah ulayat tesebut, pertanyaannya adalah bagaimana pola pengelolaan tanah ulayat dan manakah yang memiliki produktivitas tinggi dan memberikan peran yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Semoga saja penelitian ini cepat selesai.. dan menghasilkan hasil-hasil valid yang bisa 'pantas' dijadikan bahan pertimbangan bagi kebijakan selanjutnya..
BalasHapus