Kemitraan Bidan – Dukun sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada.
Kemitraan Bidan dengan Dukun bayi akan berhasil jika terdapat hubungan saling mendukung tanpa menimbulkan kesan persaingan, terjalin kerja sama yang harmonis, dan tanpa mengurangi status dukun bayi sebagai tokoh masyarakat. Program ini juga akan berjalan dengan baik jika dukun dapat memahami makna dan tujuan dari program tersebut. Istilah kemitraan berarti ada kerja sama yang saling menguntungkan baik bagi dukun maupun bidan, dan tentunya bagi masyarakat pada umumnya karena tujuan program ini adalah pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga profesional, yang dampaknya dapat menurunkan angka kematian ibu.
Namun pelaksanaan Program Kemitraan Bidan dengan Dukun tidak selalu berjalan normal. Hasil penelitian Salman (2007) di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (85%) setuju menerima kehadiran bidan dalam membantu persalinan, hanya (15%) yang kurang/tidak setuju, pada umumnya yang tidak setuju adalah dukun bayi yang tidak terlatih, yaitu dukun bayi yang menerima profesi ini sebagai pewarisan secara turun temurun. Dukun bayi merasa posisinya tergeser dengan kehadiran bidan di desa, sementara profesi ini merupakan salah satu sumber penghasilan mereka. Keadaan ini menyebabkan mereka mengambil jarak dengan bidan, sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik diantara mereka.
Sikap negatif terhadap kehadiran bidan dapat terjadi karena pengetahuan dukun yang kurang memadai tentang program Kemitraan Bidan dan Dukun. Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2007). Dengan demikian, apa maksud dan tujuan, manfaat, dan bagaimana program kemitraan bidan dan dukun itu dilaksanakan adalah suatu hal yang mutlak diketahui oleh pihak-pihak terkait, termasuk didalamnya adalah dukun.
Kode File : K200
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Jumat, 21 Mei 2010
Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Anak Usia 0-3 Tahun
Pertumbuhan anak sangat berkaitan dengan nutrisi yang dikonsumsi. Kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsi setiap hari menentukan status gizi anak. Status gizi yang baik mampu meningkatkan daya tahan tubuh yang baik pula, sebaliknya status gizi yang buruk memudahkan timbulnya penyakit. Oleh karena itu makan bukan hanya kebutuhan fisik utama semata namun juga diperlukan sebagai faktor penunjang pertumbuhan, sedangkan pertumbuhan itu merupakan langkah awal bagi perkembangan.
Salah satu kelompok umur dalam masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi (rentan gizi) adalah anak balita (bawah lima tahun). Pada anak balita terjadi proses pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat gizi tinggi untuk setiap kilogram berat badannya. Anak balita justru paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Sedangkan masa balita ini merupakan periode penting dalam pertumbuhan, dimana pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan menentukan perkembangan anak selanjutnya.
Kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang masih belum menunjukkan gejala yang abnormal, anak masih bisa beraktivitas, bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus dan staminanya mulai menurun. Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap infeksi, terjadi pengurusan otot, pembengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain seperti misalnya peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya, akibat atrophy / pengecilan organ tersebut.
Dampak kurang gizi / gizi buruk terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Jika kondisi kurang gizi terjadi pada balita, khususnya pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun), otak tidak dapat berkembang sebagaimana anak yang sehat, dan kondisi ini akan sulit untuk dapat pulih kembali atau bersifat irreversible.
Mengingat gizi kurang berdampak kurang baik bagi perkembangan anak, selayaknya faktor ini mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Anak adalah potensi penerus cita-cita bangsa. Jika anak dipupuk dan dipelihara dengan baik, maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula sesuai dengan keinginan dan harapan.
Kode File : K199
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Salah satu kelompok umur dalam masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi (rentan gizi) adalah anak balita (bawah lima tahun). Pada anak balita terjadi proses pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat gizi tinggi untuk setiap kilogram berat badannya. Anak balita justru paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Sedangkan masa balita ini merupakan periode penting dalam pertumbuhan, dimana pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan menentukan perkembangan anak selanjutnya.
Kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang masih belum menunjukkan gejala yang abnormal, anak masih bisa beraktivitas, bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus dan staminanya mulai menurun. Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap infeksi, terjadi pengurusan otot, pembengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain seperti misalnya peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya, akibat atrophy / pengecilan organ tersebut.
Dampak kurang gizi / gizi buruk terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Jika kondisi kurang gizi terjadi pada balita, khususnya pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun), otak tidak dapat berkembang sebagaimana anak yang sehat, dan kondisi ini akan sulit untuk dapat pulih kembali atau bersifat irreversible.
Mengingat gizi kurang berdampak kurang baik bagi perkembangan anak, selayaknya faktor ini mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Anak adalah potensi penerus cita-cita bangsa. Jika anak dipupuk dan dipelihara dengan baik, maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula sesuai dengan keinginan dan harapan.
Kode File : K199
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Pengaruh Pemakaian Kontrasepsi Implant Terhadap Keteraturan Siklus Menstruasi.
Kontrasepsi implant merupakan salah satu kontrasepsi yang didiminati akseptor KB. Berdasarkan data dari Puskesmas Jabung Kabupaten Malang, diketahui bahwa jumlah akseptor KB implant pada tahun 2008 terdapat 5,7% dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 6,6%. Jumlah akseptor KB pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2008 terdapat 437 akseptor dengan data sebagai berikut : kontrasepsi suntik 265 orang (57,6%), kontrsepsi pil 102 orang (21,3%), kontrasepsi IUD 50 orang (11,4%), kontrasepsi Implant 12 orang (5,7%) dan kontrasepsi mantap 8 orang (1,8%).
Mengingat jumlah akseptor KB implant cukup banyak, maka perlu diwaspadai dan diantisipasi kemungkinan resiko efek samping yang dapat terjadi. Efek samping tersebut antara lain perdarahan lebih banyak dari pada haid biasanya, pusing atau rasa mual yang hebat, terjadi penambahan berat badan yang menyolok, dan terjadi kelambatan haid. Implant adalah kontrasepsi hormonal yang memiliki bentuk kapsul plastik, tipis, fleksibel, yang mengandung 36 mg levonorgestrel yang dimasukkan ke dalam kulit lengan wanita. Kapsul ini melepaskan progestin ke dalam aliran darah secara perlahan dan biasanya dipasang selama 5 tahun. Mencegah kehamilan dengan cara menghambat terjadinya ovulasi (pelepasan sel telur oleh indung telur), mempertebal lendir mukosa leher rahim, mengganggu pergerakan saluran tuba, dan menghalangi pertumbuhan lapisan endometrium. Kontrasepsi ini efektif dalam waktu 48 jam setelah diimplan dan efektif selama 5-7 tahun.
Ketidakteraturan siklus menstruasi memang merupakan salah satu efek samping dari kontrasepsi implant. Hal ini umumnya terjadi pada bulan pertama pemakaian dan berlangsung selama 3-12 bulan. Setelah 1 tahun, sekitar 1/3 dari wanita yang menggunakan implant tidak mengalami siklus menstruasi sama sekali
Kode File : K198
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Mengingat jumlah akseptor KB implant cukup banyak, maka perlu diwaspadai dan diantisipasi kemungkinan resiko efek samping yang dapat terjadi. Efek samping tersebut antara lain perdarahan lebih banyak dari pada haid biasanya, pusing atau rasa mual yang hebat, terjadi penambahan berat badan yang menyolok, dan terjadi kelambatan haid. Implant adalah kontrasepsi hormonal yang memiliki bentuk kapsul plastik, tipis, fleksibel, yang mengandung 36 mg levonorgestrel yang dimasukkan ke dalam kulit lengan wanita. Kapsul ini melepaskan progestin ke dalam aliran darah secara perlahan dan biasanya dipasang selama 5 tahun. Mencegah kehamilan dengan cara menghambat terjadinya ovulasi (pelepasan sel telur oleh indung telur), mempertebal lendir mukosa leher rahim, mengganggu pergerakan saluran tuba, dan menghalangi pertumbuhan lapisan endometrium. Kontrasepsi ini efektif dalam waktu 48 jam setelah diimplan dan efektif selama 5-7 tahun.
Ketidakteraturan siklus menstruasi memang merupakan salah satu efek samping dari kontrasepsi implant. Hal ini umumnya terjadi pada bulan pertama pemakaian dan berlangsung selama 3-12 bulan. Setelah 1 tahun, sekitar 1/3 dari wanita yang menggunakan implant tidak mengalami siklus menstruasi sama sekali
Kode File : K198
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Hubungan praktik penyapihan dengan kejadian diare pada anak usia 1-2 tahun di Puskesmas.
Nutrisi pertama dan utama bagi bayi tentu saja ASI, pilihan ini tidak perlu diperdebatkan lagi . Tetapi perkembangan menunjukkan adanya perubahan yang justru memisahkan bayi dan ASI yang dimiliki ibunya. Peningkatan pamor susu formula di tahun enam puluhan serta rumor tentang tidak modernnya ASI menyebabkan makin berkurangnya penggunaan ASI.
Dewasa ini di Indonesia 80-90% ibu di daerah pedesaan masih menyusui bayi sampai umur lebih dari 1 tahun, tetapi di kota-kota ASI sudah banyak diganti dengan susu botol. Banyak faktor yang menyebabkan penurunan penggunaan ASI. Di perkotaan ibu-ibu ikut bekerja untuk mencari nafkah, sehinggga tidak dapat menyusui bayinya dengan baik dan teratur. Sebelum tahun 1970-an pemberian ASI turun hingga tingkat terendah dan pada tahun 1970-an pemberian ASI semakin meningkat. Pada tahun 2001, pemberian ASI mencapai tingkat tertinggi yaitu hampir 70 %. Pada saat itu banyak ibu mulai memberikan ASI dan terus memberikannya selama 6 bulan. (WHO, 2006). Dari hasil survey kesehatan Indonesia tahun 1992 bahwa wanita yang memberikan ASI baru menyentuh angka 51%. Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif masih 52%, pemberian ASI satu jam pasca persalinan 8%, pemberian hari pertama 52,7%. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita (Arisman, 2004:42).
Menurut laporan WHO (2000) lebih kurang 1,5 juta anak meninggal karena pemberian makanan yang tidak benar, kurang dari 15% bayi di seluruh dunia diberikan ASI eksklusif selama 4 bulan dan seringkali pemberian makanan pendamping ASI tidak sesuai dan tidak aman. Hasil penelitian menunjukkan gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan anak usia di bawah 5 tahun (balita) antara lain kekurangan gizi sejak dalam kandungan (pertumbuhan janin yang terhambat), pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini atau terlambat serta tidak cukup mengandung energi dan zat gizi (terutama mineral) dan tidak berhasil memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan penyapihan bayi rata-rata dilakukan pada bulan ke tujuh pasca persalinan diketahui 63,3% responden masih menyusui dan 3,6% sama sekali tidak menyusui karena menderita sakit atau produksi ASI tidak terjadi saat awal. Kelompok kerja formal lebih dini menyapih bayinya, rata-rata 6-9 bulan setelah melahirkan sedangkan untuk pekerja informal pada saat bayi berusia 7-9 bulan. Semakin rendah pendidikan ibu merupakan resiko terjadinya penyapihan dini. Bayi dengan ibu yang harus bekerja kembali setelah melahirkan cenderung mengalami penyapihan dini. Ibu yang terpaksa meninggalkan bayinya di rumah juga mengalami kenaikan resiko penyapihan dini 3x lebih cepat.
Menyapih berarti bayi secara berangsur-angsur dibiasakan menyantap makanan orang dewasa. Selama masa penyapihan, makanan bayi berubah dari ASI saja ke makanan yang lazim dihidangkan oleh keluarga, sementara air susu diberikan hanya sebagai makanan tambahan. Insidensi penyakit infeksi, terutama diare lebih tinggi pada saat penyapihan ini daripada periode lain kehidupan. Hal ini terjadi karena makanan berubah, dari ASI yang bersih dan mengandung zat-zat anti infeksi (antara lain Ig A, Laktoferin, WBC) ke makanan yang disiapkan, disimpan dan dimakan tanpa mengindahkan syarat kebersihan.
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih sering terjadi. Hingga kini diare menjadi “Child Killer” (Pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan 2/3 nya adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa. Akibat diare pada bayi yaitu bila diare yang terjadi sangat sering, cair dan bau asam, metoorismus, flatulens dan kolik abdomen, maka akibat dari gejala tersebut pertumbuhan anak akan terlambat bahkan tidak jarang malnutrisi. Tak jarang diare akut dapat mengakibatkan kematian.
Kode File : K197
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Dewasa ini di Indonesia 80-90% ibu di daerah pedesaan masih menyusui bayi sampai umur lebih dari 1 tahun, tetapi di kota-kota ASI sudah banyak diganti dengan susu botol. Banyak faktor yang menyebabkan penurunan penggunaan ASI. Di perkotaan ibu-ibu ikut bekerja untuk mencari nafkah, sehinggga tidak dapat menyusui bayinya dengan baik dan teratur. Sebelum tahun 1970-an pemberian ASI turun hingga tingkat terendah dan pada tahun 1970-an pemberian ASI semakin meningkat. Pada tahun 2001, pemberian ASI mencapai tingkat tertinggi yaitu hampir 70 %. Pada saat itu banyak ibu mulai memberikan ASI dan terus memberikannya selama 6 bulan. (WHO, 2006). Dari hasil survey kesehatan Indonesia tahun 1992 bahwa wanita yang memberikan ASI baru menyentuh angka 51%. Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif masih 52%, pemberian ASI satu jam pasca persalinan 8%, pemberian hari pertama 52,7%. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita (Arisman, 2004:42).
Menurut laporan WHO (2000) lebih kurang 1,5 juta anak meninggal karena pemberian makanan yang tidak benar, kurang dari 15% bayi di seluruh dunia diberikan ASI eksklusif selama 4 bulan dan seringkali pemberian makanan pendamping ASI tidak sesuai dan tidak aman. Hasil penelitian menunjukkan gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan anak usia di bawah 5 tahun (balita) antara lain kekurangan gizi sejak dalam kandungan (pertumbuhan janin yang terhambat), pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini atau terlambat serta tidak cukup mengandung energi dan zat gizi (terutama mineral) dan tidak berhasil memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan penyapihan bayi rata-rata dilakukan pada bulan ke tujuh pasca persalinan diketahui 63,3% responden masih menyusui dan 3,6% sama sekali tidak menyusui karena menderita sakit atau produksi ASI tidak terjadi saat awal. Kelompok kerja formal lebih dini menyapih bayinya, rata-rata 6-9 bulan setelah melahirkan sedangkan untuk pekerja informal pada saat bayi berusia 7-9 bulan. Semakin rendah pendidikan ibu merupakan resiko terjadinya penyapihan dini. Bayi dengan ibu yang harus bekerja kembali setelah melahirkan cenderung mengalami penyapihan dini. Ibu yang terpaksa meninggalkan bayinya di rumah juga mengalami kenaikan resiko penyapihan dini 3x lebih cepat.
Menyapih berarti bayi secara berangsur-angsur dibiasakan menyantap makanan orang dewasa. Selama masa penyapihan, makanan bayi berubah dari ASI saja ke makanan yang lazim dihidangkan oleh keluarga, sementara air susu diberikan hanya sebagai makanan tambahan. Insidensi penyakit infeksi, terutama diare lebih tinggi pada saat penyapihan ini daripada periode lain kehidupan. Hal ini terjadi karena makanan berubah, dari ASI yang bersih dan mengandung zat-zat anti infeksi (antara lain Ig A, Laktoferin, WBC) ke makanan yang disiapkan, disimpan dan dimakan tanpa mengindahkan syarat kebersihan.
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih sering terjadi. Hingga kini diare menjadi “Child Killer” (Pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan 2/3 nya adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa. Akibat diare pada bayi yaitu bila diare yang terjadi sangat sering, cair dan bau asam, metoorismus, flatulens dan kolik abdomen, maka akibat dari gejala tersebut pertumbuhan anak akan terlambat bahkan tidak jarang malnutrisi. Tak jarang diare akut dapat mengakibatkan kematian.
Kode File : K197
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : Ms. WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya WUS Dalam Melakukan Deteksi Dini Ca Cervik Dengan Pemeriksaan IVA
Data patologi dan data rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa kejadian kanker serviks berada di peringkat pertama. Data tahun 1997, menunjukkan bahwa dari 12 Pusat Patologi di Indonesia, kanker serviks menduduki peringkat tertinggi, yaitu 25% dari 10 jenis kanker terbanyak laki-laki dan perempuan atau 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada perempuan. Selain kejadiannya tinggi, masalah lain adalah bahwa hampir 70% datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut. Ini berarti telah lebih dari Stadium IIB. Pada stadium ini, efektivitas pengobatan yang lengkap sekalipun hasilnya masih belum memuaskan dan mortalitas yang diakibatkannya tinggi.
Mengacu pada data Yayasan Kanker Indonesia, angka kematian akibat kanker serviks terbanyak di antara jenis kanker lain di kalangan perempuan. Angka kejadian sekitar 74 persen dibandingkan kanker ginekologi lainnya. Diperkirakan, 52 juta perempuan Indonesia berisiko terkena kanker serviks, sementara setiap tahunnya terjadi 15.000 kasus baru dengan kematian 8.000 orang. Sementara itu, data WHO tahun 2003 menyebutkan, sekitar 500.000 perempuan setiap tahunnya didiagnosis menderita kanker serviks dan hampir 60 persen di antaranya meninggal dunia. Secara epidemiologi, kanker serviks cenderung timbul pada kelompok usia 33-55 tahun, tetapi dapat juga timbul pada usia yang lebih muda.
Penyelenggaraan skrining kanker serviks dengan tes pap smear adalah sesuatu yang sudah ideal, walaupun diketahui pemeriksaan tes pap juga mempunyai keterbatasan, antara lain sensitivitasnya yang rendah di berbagai senter. Tapi penyelenggaraan tes pap secara luas apalagi secara nasional sangat sulit dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan terkendala oleh faktor belum tersedianya sumber daya, khususnya spesialis Patologi Anatomik dan skriner sitologi sebagai pemeriksa sitologi di semua ibu kota provinsi, apalagi di kabupaten di Indonesia.
Untuk mengatasi hal di atas, perlu upaya pemecahan masalah dengan metode skrining lain yang lebih mampu laksana, cost effective dan dimungkinkan dilakukan di Indonesia. Salah satu metode alternatif skrining kanker serviks yang dapat menjawab ketentuan-ketentuan tersebut adalah inspeksi visual dengan pulasan asam asetat (IVA). IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan melihat secara langsung perubahan pada serviks setelah dipulas dengan asam asetat 3 – 5%. Dengan metode IVA, juga dapat diidentifikasi lesi prakanker serviks, baik Lesi Intraepitel Serviks Derajat Tinggi (LISDT), maupun Lest Intraepitel Serviks Derajat Rendah (LISDR). Adanya tampilan bercak putih setelah pulasan asam asetat mengindikasikan kemungkinan adanya lesi prakanker serviks.
Metode skrining IVA ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh dokter umum, bidan atau perawat yang telah dilatih. Jumlah profesi bidan di Indonesia yang potensial dapat dilatih agar dapat melakukan skrining kanker serviks, yaitu sejumlah 84.789 orang (data tahun 2004). Kelompok ini merupakan pasukan pemeriksa yang dapat diandalkan dalam upaya penanggulangan kanker serviks di Indonesia. Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati serviks yang telah diberi asam asetat/ asam cuka 3 - 5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata langsung (mata telanjang)
Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif, pemeriksaan IVA memiliki beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang sudah ada, yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana, hasilnya segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih luas, dan pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skriner untuk memeriksa sediaan sitologi. Informasi hasil dapat diberikan segera. Keadaan ini lebih memungkinkan dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia, karena hingga kini tenaga skriner sitologi masih sangat terbatas.
Kode File : K196
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Mengacu pada data Yayasan Kanker Indonesia, angka kematian akibat kanker serviks terbanyak di antara jenis kanker lain di kalangan perempuan. Angka kejadian sekitar 74 persen dibandingkan kanker ginekologi lainnya. Diperkirakan, 52 juta perempuan Indonesia berisiko terkena kanker serviks, sementara setiap tahunnya terjadi 15.000 kasus baru dengan kematian 8.000 orang. Sementara itu, data WHO tahun 2003 menyebutkan, sekitar 500.000 perempuan setiap tahunnya didiagnosis menderita kanker serviks dan hampir 60 persen di antaranya meninggal dunia. Secara epidemiologi, kanker serviks cenderung timbul pada kelompok usia 33-55 tahun, tetapi dapat juga timbul pada usia yang lebih muda.
Penyelenggaraan skrining kanker serviks dengan tes pap smear adalah sesuatu yang sudah ideal, walaupun diketahui pemeriksaan tes pap juga mempunyai keterbatasan, antara lain sensitivitasnya yang rendah di berbagai senter. Tapi penyelenggaraan tes pap secara luas apalagi secara nasional sangat sulit dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan terkendala oleh faktor belum tersedianya sumber daya, khususnya spesialis Patologi Anatomik dan skriner sitologi sebagai pemeriksa sitologi di semua ibu kota provinsi, apalagi di kabupaten di Indonesia.
Untuk mengatasi hal di atas, perlu upaya pemecahan masalah dengan metode skrining lain yang lebih mampu laksana, cost effective dan dimungkinkan dilakukan di Indonesia. Salah satu metode alternatif skrining kanker serviks yang dapat menjawab ketentuan-ketentuan tersebut adalah inspeksi visual dengan pulasan asam asetat (IVA). IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan melihat secara langsung perubahan pada serviks setelah dipulas dengan asam asetat 3 – 5%. Dengan metode IVA, juga dapat diidentifikasi lesi prakanker serviks, baik Lesi Intraepitel Serviks Derajat Tinggi (LISDT), maupun Lest Intraepitel Serviks Derajat Rendah (LISDR). Adanya tampilan bercak putih setelah pulasan asam asetat mengindikasikan kemungkinan adanya lesi prakanker serviks.
Metode skrining IVA ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh dokter umum, bidan atau perawat yang telah dilatih. Jumlah profesi bidan di Indonesia yang potensial dapat dilatih agar dapat melakukan skrining kanker serviks, yaitu sejumlah 84.789 orang (data tahun 2004). Kelompok ini merupakan pasukan pemeriksa yang dapat diandalkan dalam upaya penanggulangan kanker serviks di Indonesia. Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati serviks yang telah diberi asam asetat/ asam cuka 3 - 5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata langsung (mata telanjang)
Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif, pemeriksaan IVA memiliki beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang sudah ada, yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana, hasilnya segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih luas, dan pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skriner untuk memeriksa sediaan sitologi. Informasi hasil dapat diberikan segera. Keadaan ini lebih memungkinkan dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia, karena hingga kini tenaga skriner sitologi masih sangat terbatas.
Kode File : K196
File skripsi ini meliputi
- Bagian depan (Daftar isi, daftar tabel, dll)
- Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
- Daftar pustaka
- Lampiran2 : instrumen, pengolahan data,dll
Bentuk file : WORD
Donasi : Rp. 100.000,-
Rabu, 19 Mei 2010
JUDUL SKRIPSI-THESIS GRESSSSSS……………
JUDUL SKRIPSI-THESIS BARU, TERBIT 2010 ..............
K207 Pengaruh Pemberian Lavement dan Obat Pencahar Terhadap Kecepatan Proses Persalinan
K208 Hubungan faktor-faktor kader posyandu, aparat desa, tokoh masyarakat, Bidan dengan keberhasilan posyandu
K209 Perbedaan Pengaruh Perawatan Luka Menggunakan Povidone Iodine, Eusol dan Daun Sirih Terhadap Penyembuhan Luka Perineum
K210 Pengaruh Pemberian Coklat Terhadap Tingkat Nyeri Persalinan
K211 Hubungan antara pengetahuan, pekerjaan, dan kesehatan ibu menyusui dengan lamanya menyusui pada anak usia 2 tahun
K212 Hubungan Asupan Gizi, Aktifitas Fisik dan Psikis Ibu dengan His Pada Ibu Bersalin
K213 Hubungan Antara Umur Saat Pemberian Kontrasepsi, Pola Makan, Faktor Genetik Dan Pola Aktivitas Dengan Efek Samping Pada Akseptor KB Suntik 3 Bulanan
K214 Hubungan Riwayat Kesehatan Ibu, Hemoglobin Ibu dan Status Gizi Ibu dengan Berat Badan Lahir Rendah
K215 Pengaruh mengkonsumsi daun katuk, susu formula dan susu kedelai terhadap kelancaran pengeluaran ASI
K216 Hubungan Antara Umur Saat Pemberian Kontrasepsi, Lama Pemberian Kontrasepsi Dan Keharmonisan Hubungan Dengan Suami Dengan Penurunan Libido Pada Akseptor Kb Suntik 3 Bulanan
K217 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak usia 24 bulan
K218 Hubungan usia, status pernikahan, kondisi suami dan kondisi ibu dengan terjadinya perubahan pada mukosa serviks melalui pemeriksaan IVA
K219 Hubungan Antara Riwayat Kesehatan Ibu Selama Hamil, Kondisi Gizi Bayi Dan Riwayat Kesehatan Anak Dengan Tumbuh Kembang Anak Usia 1 Tahun
K220 Hubungan Antara Kondisi Bayi Baru Lahir, Kondisi Ibu Saat Melahirkan dan Psikis Ibu dengan Waktu Mulainya Inisiasi Menyusu Dini
K221 Pengaruh pemberian vitamin c, vitamin b6, susu formula khusus ibu hamil dengan pengurangan rasa mual akibat mengkonsumsi tablet Fe pada ibu hamil trimester II
K222 Pengaruh perawatan payudara, pijat dukun dan mandi lulur boreh rempah selama hamil terhadap kelancaran ASI
K223 Pengaruh Kondisi Ibu Waktu Hamil, Kondisi Bayi dan Peran Bidan terhadap Keberhasilan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
K224 Hubungan pola makan, usia, faktor genetic dan psikis ibu dengan terjadinya preeklamsia
K225 Perbedaan pengaruh Senam Nifas, Stretching (Peregangan) Dan Senam Perut Dan Terhadap Pemulihan Kesehatan Pada Ibu Nifas
K226 Hubungan Antara Umur Saat Pemberian Kontrasepsi, Pola Makan, Pola Istirahat dan Pola Aktifitas dengan Peningkatan Berat Badan pada Akseptor KB 1 Bulanan
K227 Hubungan Pengetahuan Ibu, Mitos Tentang ASI, Kondisi Pekerjaan, Dan Produksi ASI Dengan Keberhasilan Pemberian ASI
K228 Hubungan antara kondisi ibu, kondisi bapak dan pamong desa dengan kelengkapan imunisasi pada bayi
K229 Hubungan Antara Pengetahuan Tentang PMS, Kenyamanan Penggunaan Kondom dan Kondisi Keuangan dengan Ketepatan Penggunaan Kondom
K230 Pengaruh Faktor-Faktor Bidan, Pamong Desa dan Dukun terhadap Keberhasilan Program Kemitraan Bidan dan Dukun
K231 Hubungan kondisi psikis masa remaja, kondisi psikis menikah dan kondisi psikis dewasa dengan umur seorang wanita pada saat datangnya masa klimakterium
K232 Pengaruh mengkonsumsi susu formula, susu formula ekstra daun katuk, dan daun katuk saja terhadap kelancaran produksi ASI
K233 Perbedaan Kecepatan Pelepasan Tali Pusat Antara Yang Dirawat Menggunakan Kasa Kering, Ekstraks Plasenta Dan Pengerigan Secara Alami
K234 Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan susu formula dini pada bayi usia 0-6 bulan
K235 Perbedaan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun Antara yang Diasuh Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT,
PSIKOLOGI
Jumat, 14 Mei 2010
Karakteristik ibu menyusui yang tidak memberikan ASI eksklusif di Puskesmas XX.
Penyebab tingginya AKB di Indonesia disebabkan banyak hal yang mana salah satunya adalah dari faktor status gizi bayi. Menurut hasil penelitian Khairunniyah (2004), pemberian ASI eksklusif berpengaruh pada kualitas kesehatan bayi. Semakin sedikit jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif, maka kualitas kesehatan bayi dan anak balita akan semakin buruk, karena pemberian makanan pendamping ASI yang tidak benar menyebabkan gangguan pencernaan yang selanjutnya menyebabkan gangguan pertumbuhan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan AKB. Demikian pula dengan angka kesakitan bayi juga semakin tinggi. Kasus Gizi buruk pada balita dari berbagai Propinsi di Indonesia masih tinggi, dimana 11,7 % gizi buruk tersebut tedapat pada bayi berumur kurang dari 6 bulan. Hal ini tidak perlu terjadi jika ASI diberikan secara baik dan benar, karena menurut penelitian dengan pemberian ASI saja dapat mencukupi kebutuhan gizi selama enam bulan. Berdasarkan data UNICEF hanya 3% ibu yang memberikan ASI ekslusif dan menurut SDKI 2002 cakupan ASI ekslusif di Indonesia baru mencapai 55%, sedangkan di Jawa Timur jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif tahun 2006 sebesar 278.601 (38,7%) dengan jumlah bayi 719.332, masih jauh dibawah target sebesar 60%.
Meneteki merupakan proses alamiah dan bagian terpadu dari proses reproduksi. Setiap wanita yang hamil sampai cukup bulan akan dapat mengeluarkan air susu. Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan paling ideal bagi bayi. Oleh karena itu, pada tahun 2000 pernerintah Indonesia menetapkan target sekurangnya 80% ibu meneteki bayinya secara eksklusif, yaitu ASI tanpa makanan ataupun minuman lainnya sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan. Semula pemerintah Indonesia menganjurkan para ibu meneteki bayinya hingga usia 4 bulan, kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan baru melalui Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 mengenai pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dan dianjurkan untuk dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai.
Di Indonesia terutama di kota-kota besar, terlihat adanya penurunan dalam pemberian ASI yang dikhawatirkan meluas ke pedesaan. Program peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif selama 6 bulan merupakan program prioritas karena dampak penggunaan ASI eksklusif terhadap status gizi dan kesehatan bayi dan balita. Saat ini praktek meneteki di Indonesia cukup memprihatinkan, menurut SDKI tahun 1997 dan 2002, lebih dari 95% ibu pernah meneteki bayinya, namun yang meneteki dalam 1 jam pertama cenderung menurun dari 8% pada tahun 1997 menjadi 3,7% pada tahun 2002. Cakupan ASI eksklusif 6 bulan menurun dari 42,4% tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002. Sementara itu penggunaan susu formula justru meningkat lebih dari 3 kali lipat selama 5 tahun dari 10,8% tahun 1997 menjadi 32,5% pada tahun 2002.
Pemberian ASI secara eksklusif dapat menekan angka kematian bayi hingga 13% sehingga dengan dasar asumsi jumlah penduduk 219 juta, angka kelahiran total 22/1000 kelahiran hidup, angka kematian balita 46/1000 kelahiran hidup maka jumlah bayi yang akan terselematkan sebanyak 30 ribu. Namun yang patut disayangkan tingkat pemberian ASI secara eksklusif di tanah air hingga saat ini masih sangat rendah yakni antara 39% - 40% dari jumlah ibu yang melahirkan. Promosi pemberian ASI dan cara menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling laktasi dari petugas kesehatan, masa cuti yang terlalu singkat bagi ibu yang bekerja, persepsi sosial budaya dan keagresifan produsen susu formula mempromosikan produknya kepada masyarakat dan petugas kesehatan. Beberapa karakteristik penting yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah usia, pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat itu sendiri terhadap kesehatan yang meliputi aspek sikap maupun tindakan sehari-hari.
Kode Skripsi : K195
File skripsi ini meliputi :
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Meneteki merupakan proses alamiah dan bagian terpadu dari proses reproduksi. Setiap wanita yang hamil sampai cukup bulan akan dapat mengeluarkan air susu. Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan paling ideal bagi bayi. Oleh karena itu, pada tahun 2000 pernerintah Indonesia menetapkan target sekurangnya 80% ibu meneteki bayinya secara eksklusif, yaitu ASI tanpa makanan ataupun minuman lainnya sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan. Semula pemerintah Indonesia menganjurkan para ibu meneteki bayinya hingga usia 4 bulan, kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan baru melalui Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 mengenai pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dan dianjurkan untuk dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai.
Di Indonesia terutama di kota-kota besar, terlihat adanya penurunan dalam pemberian ASI yang dikhawatirkan meluas ke pedesaan. Program peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif selama 6 bulan merupakan program prioritas karena dampak penggunaan ASI eksklusif terhadap status gizi dan kesehatan bayi dan balita. Saat ini praktek meneteki di Indonesia cukup memprihatinkan, menurut SDKI tahun 1997 dan 2002, lebih dari 95% ibu pernah meneteki bayinya, namun yang meneteki dalam 1 jam pertama cenderung menurun dari 8% pada tahun 1997 menjadi 3,7% pada tahun 2002. Cakupan ASI eksklusif 6 bulan menurun dari 42,4% tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002. Sementara itu penggunaan susu formula justru meningkat lebih dari 3 kali lipat selama 5 tahun dari 10,8% tahun 1997 menjadi 32,5% pada tahun 2002.
Pemberian ASI secara eksklusif dapat menekan angka kematian bayi hingga 13% sehingga dengan dasar asumsi jumlah penduduk 219 juta, angka kelahiran total 22/1000 kelahiran hidup, angka kematian balita 46/1000 kelahiran hidup maka jumlah bayi yang akan terselematkan sebanyak 30 ribu. Namun yang patut disayangkan tingkat pemberian ASI secara eksklusif di tanah air hingga saat ini masih sangat rendah yakni antara 39% - 40% dari jumlah ibu yang melahirkan. Promosi pemberian ASI dan cara menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling laktasi dari petugas kesehatan, masa cuti yang terlalu singkat bagi ibu yang bekerja, persepsi sosial budaya dan keagresifan produsen susu formula mempromosikan produknya kepada masyarakat dan petugas kesehatan. Beberapa karakteristik penting yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah usia, pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat itu sendiri terhadap kesehatan yang meliputi aspek sikap maupun tindakan sehari-hari.
Kode Skripsi : K195
File skripsi ini meliputi :
- Bagian depan
- Bab 1-5 (Pendahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran-2 (Kuesioner, dll)
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Tingkat pengetahuan ibu hamil tentang kehamilan resiko tinggi
Mortalitas dan mordibitas pada wanita hamil adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin sekitar 25-50 %. Kematian wanita subur usia disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Tahun 1996 WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin sebenarnya lebih dari 50% kematian di negara berkembang.
Angka kematian ibu berkaitan erat dengan tingginya kasus kehamilan resiko tinggi, yaitu kehamilan yang menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi lebih besar yang dapat mengancam keselamatan ibu dan janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan maupun pada masa nifas (Kusmarjadi, 2008). Ibu hamil di negara-negara Afrika dan Asia selatan menghadapi risiko untuk mengalami kematian saat hamil dan melahirkan sekitar 200 kali lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi ibu di negara maju. Karena angka fertilitas di negara berkembang lebih tinggi maka rentang risiko di Afrika I diantara 6000. tiap tahun terdapat dari 150 juta ibu hamil di negara berkembang. Sekitar 500.000 diantaranya akan meninggal akibat penyebab kehamilan, dan 50 juta lainnya menderita karena kehamilannya mengalami komplikasi.
Menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas penyebab langsung kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia ke dalam perdarahan dan infeksi sebagai penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 50% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis. Keadaan ibu sejak pra hamil dapat mempengaruhi terhadap kehamilannya, penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah amenia, kurang energi kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu“ muda / tua, sering dan banyak.
Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003 AKI di Indonesia berkisar 307/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 35/1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi baru lahir (Neonatal) sekitar 20/1.000 kelahiran hidup. Laporan Hasil Pembangunan Dinas Kesehatan Kabupaten XX menunjukkan bahwa terjadi peningkatan AKI dimana pada tahun 2007 terdapat 25 kasus (0,605%) dari 41.296 kehamilan (60,54 per 100.000 kehamilan), dan pada tahun 2008 dari jumlah kasusnya turun menjadi 24 kasus (0,607%) dari 39.554 kehamilan, tetapi berdasarkan angka pembilangnya meningkat menjadi 60,68 per 100.000 kehamilan. Sementara resiko kematian ibu (kehamilan resiko tinggi) juga mengalami peningkatan, dimana pada tahun tahun 2006 sebesar 13,16%, tahun 2007 meningkat menjadi 15,62%, dan tahun 2008 meningkat sebesar 16,04%. Kenyataan ini memprihatinkan karena upaya menurunkan AKI melalui GSI difokuskan untuk mencegah 4 (empat) terlambat, salah satunya terlambat deteksi resiko tinggi.
Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dapat terjadi karena terlambat memutuskan rujukan yang disebakan oleh pengetahuan yang rendah tentang bahaya dan komplikasi pada kehamilan resiko tinggi (Nurjanah, 2009). Sedangkan kehamilan resiko tinggi ini pada dasarnya dapat dicegah bila gejalanya ditemukan sedini mungkin sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikinya. Pencegahan dapat dilakukan misalnya dengan memeriksakan kehamilan sedini mungkin dan teratur ke Posyandu, Puskesmas, Rumah Sakit, paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan, mendapatkan imunisasi TT, bila ditemukan kelainan risiko tinggi pemeriksaan harus lebih sering dan lebih intensif, dan makan makanan yang bergizi yaitu memenuhi 4 sehat 5 sempurna.
Kode Skripsi : K194
File skripsi ini meliputi :
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Angka kematian ibu berkaitan erat dengan tingginya kasus kehamilan resiko tinggi, yaitu kehamilan yang menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi lebih besar yang dapat mengancam keselamatan ibu dan janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan maupun pada masa nifas (Kusmarjadi, 2008). Ibu hamil di negara-negara Afrika dan Asia selatan menghadapi risiko untuk mengalami kematian saat hamil dan melahirkan sekitar 200 kali lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi ibu di negara maju. Karena angka fertilitas di negara berkembang lebih tinggi maka rentang risiko di Afrika I diantara 6000. tiap tahun terdapat dari 150 juta ibu hamil di negara berkembang. Sekitar 500.000 diantaranya akan meninggal akibat penyebab kehamilan, dan 50 juta lainnya menderita karena kehamilannya mengalami komplikasi.
Menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas penyebab langsung kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia ke dalam perdarahan dan infeksi sebagai penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 50% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis. Keadaan ibu sejak pra hamil dapat mempengaruhi terhadap kehamilannya, penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah amenia, kurang energi kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu“ muda / tua, sering dan banyak.
Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003 AKI di Indonesia berkisar 307/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 35/1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi baru lahir (Neonatal) sekitar 20/1.000 kelahiran hidup. Laporan Hasil Pembangunan Dinas Kesehatan Kabupaten XX menunjukkan bahwa terjadi peningkatan AKI dimana pada tahun 2007 terdapat 25 kasus (0,605%) dari 41.296 kehamilan (60,54 per 100.000 kehamilan), dan pada tahun 2008 dari jumlah kasusnya turun menjadi 24 kasus (0,607%) dari 39.554 kehamilan, tetapi berdasarkan angka pembilangnya meningkat menjadi 60,68 per 100.000 kehamilan. Sementara resiko kematian ibu (kehamilan resiko tinggi) juga mengalami peningkatan, dimana pada tahun tahun 2006 sebesar 13,16%, tahun 2007 meningkat menjadi 15,62%, dan tahun 2008 meningkat sebesar 16,04%. Kenyataan ini memprihatinkan karena upaya menurunkan AKI melalui GSI difokuskan untuk mencegah 4 (empat) terlambat, salah satunya terlambat deteksi resiko tinggi.
Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dapat terjadi karena terlambat memutuskan rujukan yang disebakan oleh pengetahuan yang rendah tentang bahaya dan komplikasi pada kehamilan resiko tinggi (Nurjanah, 2009). Sedangkan kehamilan resiko tinggi ini pada dasarnya dapat dicegah bila gejalanya ditemukan sedini mungkin sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikinya. Pencegahan dapat dilakukan misalnya dengan memeriksakan kehamilan sedini mungkin dan teratur ke Posyandu, Puskesmas, Rumah Sakit, paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan, mendapatkan imunisasi TT, bila ditemukan kelainan risiko tinggi pemeriksaan harus lebih sering dan lebih intensif, dan makan makanan yang bergizi yaitu memenuhi 4 sehat 5 sempurna.
Kode Skripsi : K194
File skripsi ini meliputi :
- Bagian depan
- Bab 1-5 (Pendahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran-2 (Kuesioner, dll)
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Hubungan pola pemberian makanan dengan pertumbuhan anak usia 3 – 5 tahun
Usia balita, khususnya usia 3 – 5 tahun merupakan usia pra sekolah dimana seorang anak akan mengalami tumbuh kembang dan aktivitas yang sangat pesat dibandingkan dengan ketika ia masih bayi. Kebutuhan zat gizi akan meningkat. Sementara pemberian makanan juga akan lebih sering. Pada usia ini, anak sudah mempunyai sifat konsumen aktif, yaitu mereka sudah bisa memilih makanan yang disukainya. Seorang ibu yang telah menanamkan kebiasaan makan dengan gizi yang baik pada usia dini tentunya sangat mudah mengarahkan makanan anak, karena dia telah mengenal makanan yang baik pada usia sebelumnya. Oleh karena itu, pola pemberian makanan sangat penting diperhatikan.
Ada beberapa komponen yang mencakup pola pemberian makanan pada anak, antara lain : komposisi bahan makanan, frekuensi pemberian bahan makanan, waktu dan jumlah pemberian bahan makanan. Jika anak makan biasanya hanya tiga kali (pagi, siang, dan sore) makan pokok, kali ini perlu ditambah dua kali makan selingan. Tapi hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah variasi hidangan makanan yang disajikan. Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan makanan. Pola hidangan yang dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama yakni sumber zat tenaga seperti nasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepung-tepungan, gula, dan minyak. Sumber zat pembangun, misalnya ikan, daging, telur, susu, kacang-kacangan, tempe, dan tahu. Serta zat pengatur, seperti sayur dan buah-buahan, terutama yang berwarna hijau dan kuning. Pola pemberian makan pada bayi dan anak sangat berpengaruh terhadap kecukupan gizinya. Gizi yang baik menyebabkan anak bertumbuh dan berkembang dengan baik pula.
Ada beberapa jenis gangguan yang sering terjadi pada anak diantaranya adalah Makanan kurang atau kelebihan. Kekurangan zat makanan disebut defisiensi dan mengakibatkan tidak sehat bahkan sakit, Kelebihan menyebabkan berbagai penyakit. Kekurangan umumnya mencakup protein dan karbohidrat, serta vitamin dan mineral, sedangkan kelebihan umumnya berkaitan dengan konsumsi lemak, protein, dan gula. Penyakit-penyakit gizi di Indonesia tergolong ke dalam kelompok penyakit defisiensi. Penyakit gizi lebih (overnutrition) dan keragaman pangan (food intoxication) adalah: penyakit kekurangan kalori dan protein, penyakit defisiensi vitamin A, penyakit defisiensi yodium (Iodine deficiency diseases/IDD), dan penyakit anemia defisiensi zat besi (Fe). Defisiensi yodium juga mengakibatkan gambaran klinik lain, selain goiter endemik disebut Iodine Deficiency Diseases (IDD). Ada 4 jenis IDD, yaitu sebagai berikut. Gondok endemic, hambatan pertumbuhan fisik dan mental disebut cretinism, hambatan neuromotor, kondisi tuli disertai bisu (deaf mutism). Menurut WHO, faktor gizi merupakan 54% kontributor penyebab kematian. Bahkan pada balita, kekurangan gizi sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak yang 80% proses pertumbuhannya terjadi pada masa ini.
Kode Skripsi : K193
File skripsi ini meliputi :
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Ada beberapa komponen yang mencakup pola pemberian makanan pada anak, antara lain : komposisi bahan makanan, frekuensi pemberian bahan makanan, waktu dan jumlah pemberian bahan makanan. Jika anak makan biasanya hanya tiga kali (pagi, siang, dan sore) makan pokok, kali ini perlu ditambah dua kali makan selingan. Tapi hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah variasi hidangan makanan yang disajikan. Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan makanan. Pola hidangan yang dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama yakni sumber zat tenaga seperti nasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepung-tepungan, gula, dan minyak. Sumber zat pembangun, misalnya ikan, daging, telur, susu, kacang-kacangan, tempe, dan tahu. Serta zat pengatur, seperti sayur dan buah-buahan, terutama yang berwarna hijau dan kuning. Pola pemberian makan pada bayi dan anak sangat berpengaruh terhadap kecukupan gizinya. Gizi yang baik menyebabkan anak bertumbuh dan berkembang dengan baik pula.
Ada beberapa jenis gangguan yang sering terjadi pada anak diantaranya adalah Makanan kurang atau kelebihan. Kekurangan zat makanan disebut defisiensi dan mengakibatkan tidak sehat bahkan sakit, Kelebihan menyebabkan berbagai penyakit. Kekurangan umumnya mencakup protein dan karbohidrat, serta vitamin dan mineral, sedangkan kelebihan umumnya berkaitan dengan konsumsi lemak, protein, dan gula. Penyakit-penyakit gizi di Indonesia tergolong ke dalam kelompok penyakit defisiensi. Penyakit gizi lebih (overnutrition) dan keragaman pangan (food intoxication) adalah: penyakit kekurangan kalori dan protein, penyakit defisiensi vitamin A, penyakit defisiensi yodium (Iodine deficiency diseases/IDD), dan penyakit anemia defisiensi zat besi (Fe). Defisiensi yodium juga mengakibatkan gambaran klinik lain, selain goiter endemik disebut Iodine Deficiency Diseases (IDD). Ada 4 jenis IDD, yaitu sebagai berikut. Gondok endemic, hambatan pertumbuhan fisik dan mental disebut cretinism, hambatan neuromotor, kondisi tuli disertai bisu (deaf mutism). Menurut WHO, faktor gizi merupakan 54% kontributor penyebab kematian. Bahkan pada balita, kekurangan gizi sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak yang 80% proses pertumbuhannya terjadi pada masa ini.
Kode Skripsi : K193
File skripsi ini meliputi :
- Bagian depan
- Bab 1-5 (Pendahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran-2 (Kuesioner, dll)
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keengganan suami dalam pemakaian kontrasepsi Metode Operative Pria (MOP)
Pengembangan program Keluarga Berencana yang secara resmi dimulai sejak tahun 1970 telah memberikan dampak terhadap penurunan tingkat fertilitas total yang cukup menggembirakan, namun partisipasi pria dalam ber KB masih sangat rendah yaitu sekitar 0,4%. Sedangkan di negara berkembang lainnya seperti Bangladesh 8%, Nepal 24%, Malaysia 16,8%. Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan suami akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta kesehatan dan keadilan.
Peran suami dalam keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi masih rendah, hanya berkisar 1,1%, jauh dari target tahun 2001 sebesar 2,41%. Karena itu, perlu upaya sangat keras dari pelaksana program untuk mencapai target partisipasi pria menjadi 8% di akhir tahun 2004, dalam rangka mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015. Hal itu mengemuka dalam acara evaluasi pelaksanaan, peningkatan partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi pekan ini
Peran suami dalam KB antara lain sebagai peserta Keluarga Berencana dan mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Sedang dalam kesehatan reproduksi, antara lain membantu mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan aman oleh tenaga medis, menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan, menjadi ayah yang bertanggung jawab, mencegah penularan penyakit menular seksual, menghindari kekerasan terhadap perempuan, serta tidak bias gender dalam menafsirkan kaidah agama. Pengembangan metode kontrasepsi Metode Operative Pria masih jauh tertinggal karena adanya hambatan-hambatan yang ditemukan antara lain kesulitan dalam memperoleh informasi tentang alat kontrasepsi, hambatan medis yang berupa ketersediaan alat maupun ketersediaan tenaga kesehatan, selain itu juga adanya rumor yang beredar di masyarakat mengenai alat kontrasepsi sehingga hal ini menjadi faktor penghambat dalam pengembangan metode kontrasepsi.
Rendahnya partisipasi suami dalam ber-Keluarga Berencana dapat memberikan dampak negatif bagi kaum wanita karena dalam kesehatan reproduksi tidak hanya kaum wanita saja yang selalu berperan aktif. Salah satu penyebab dari rendahnya pemakai kontrasepsi mantap/vasektomi ini adalah karena tingkat pengetahuan, pendidikan, jumlah anak masih hidup, sikap suami terhadap KB, pernah pakai KB, aktivitas kerja/pekerjaan, aktivitas ekonomi dan indeks kesejahteraan hidup (Pro-health, 2008))
Hasil proyeksi penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 226 juta dan merupakan negara keempat dengan penduduk terbanyak di dunia. Menurut data BKKBN tahun 2003 melaporkan partisipasi pria dalam BKKBN secara nasional hanya 1,3% terdiri dari akseptor yang memakai kondom 0,7%, akseptor yang memakai vasektomi 0,6%. Peran pria dalam ber Keluarga Berencana masih sangat rendah di Indonesia hanya 1,8%, jauh dari target tahun 2001 sebesar 2,41%, karena itu perlu upaya sangat keras dari pelaksanaan program untuk mencapai partisipasi pria menjadi 8% dalam rangka mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015.
Kode Skripsi : K192
File skripsi ini meliputi :
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Peran suami dalam keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi masih rendah, hanya berkisar 1,1%, jauh dari target tahun 2001 sebesar 2,41%. Karena itu, perlu upaya sangat keras dari pelaksana program untuk mencapai target partisipasi pria menjadi 8% di akhir tahun 2004, dalam rangka mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015. Hal itu mengemuka dalam acara evaluasi pelaksanaan, peningkatan partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi pekan ini
Peran suami dalam KB antara lain sebagai peserta Keluarga Berencana dan mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Sedang dalam kesehatan reproduksi, antara lain membantu mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan aman oleh tenaga medis, menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan, menjadi ayah yang bertanggung jawab, mencegah penularan penyakit menular seksual, menghindari kekerasan terhadap perempuan, serta tidak bias gender dalam menafsirkan kaidah agama. Pengembangan metode kontrasepsi Metode Operative Pria masih jauh tertinggal karena adanya hambatan-hambatan yang ditemukan antara lain kesulitan dalam memperoleh informasi tentang alat kontrasepsi, hambatan medis yang berupa ketersediaan alat maupun ketersediaan tenaga kesehatan, selain itu juga adanya rumor yang beredar di masyarakat mengenai alat kontrasepsi sehingga hal ini menjadi faktor penghambat dalam pengembangan metode kontrasepsi.
Rendahnya partisipasi suami dalam ber-Keluarga Berencana dapat memberikan dampak negatif bagi kaum wanita karena dalam kesehatan reproduksi tidak hanya kaum wanita saja yang selalu berperan aktif. Salah satu penyebab dari rendahnya pemakai kontrasepsi mantap/vasektomi ini adalah karena tingkat pengetahuan, pendidikan, jumlah anak masih hidup, sikap suami terhadap KB, pernah pakai KB, aktivitas kerja/pekerjaan, aktivitas ekonomi dan indeks kesejahteraan hidup (Pro-health, 2008))
Hasil proyeksi penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 226 juta dan merupakan negara keempat dengan penduduk terbanyak di dunia. Menurut data BKKBN tahun 2003 melaporkan partisipasi pria dalam BKKBN secara nasional hanya 1,3% terdiri dari akseptor yang memakai kondom 0,7%, akseptor yang memakai vasektomi 0,6%. Peran pria dalam ber Keluarga Berencana masih sangat rendah di Indonesia hanya 1,8%, jauh dari target tahun 2001 sebesar 2,41%, karena itu perlu upaya sangat keras dari pelaksanaan program untuk mencapai partisipasi pria menjadi 8% dalam rangka mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015.
Kode Skripsi : K192
File skripsi ini meliputi :
- Bagian depan
- Bab 1-5 (Pendahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran-2 (Kuesioner, dll)
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
Gambaran sikap masyarakat terhadap program Desa Siaga
Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi, penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), kejadian bencana, kecelakaan, dan lain-lain, dengan memanfaatkan potensi setempat secara gotong royong. Pengembangan Desa Siaga mencakup upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa, menyiap siagakan masyarakat menghadapi masalah-masalah kesehatan, memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Untuk mencapai keberhasilan program Desa Siaga tersebut mutlak diperlukan peran serta aktif dari masyarakat terutama kader kesehatan, karena inti kegiatan Desa Siaga adalah memberdayakan masyarakat agar mau dan mampu untuk hidup sehat. Oleh karena itu maka dalam pengembangannya diperlukan langkah-langkah pendekatan edukatif, yaitu upaya mendampingi (memfasilitasi) masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran yang berupa proses pemecahan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya.
Pentingnya peran serta masyarakat dalam program-program kegiatan pembangunan kesehatan, tidaklah bisa dipungkiri. Hasil observasi, pengalaman lapangan hingga keberhasilan cakupan suatu program yang telah dianalis membuktikan bahwa peran serta masyarakat sangat menentukan terhadap keberhasilan, kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan. Penyebabnya ada dua faktor, yaitu dapat menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dan faktor kesinambungan (continuity) pelaksanaan program kesehatan. Dengan demikian, maka sebaiknya dan seyogyanya pengorganisasian kegiatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan harus dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Untuk mewujudkan desa siaga tidaklah semudah membaca visi-misi Departemen Kesehatan. Cakupan Desa Siaga di beberapa daerah/propinsi hingga tahun 2008 secara nasional baru mencapai 50%, di Sumatera Utara hingga tahun 2008 hanya mencapai 1.122 desa dari total 5.620 jumlah desa yang ada, di Jawa Timur baru mencapai 62%, dan di Kabupaten Malang hingga tahun 2008 baru mencapai 68%.
Kode Skripsi : K191
File skripsi ini meliputi :
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Untuk mencapai keberhasilan program Desa Siaga tersebut mutlak diperlukan peran serta aktif dari masyarakat terutama kader kesehatan, karena inti kegiatan Desa Siaga adalah memberdayakan masyarakat agar mau dan mampu untuk hidup sehat. Oleh karena itu maka dalam pengembangannya diperlukan langkah-langkah pendekatan edukatif, yaitu upaya mendampingi (memfasilitasi) masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran yang berupa proses pemecahan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya.
Pentingnya peran serta masyarakat dalam program-program kegiatan pembangunan kesehatan, tidaklah bisa dipungkiri. Hasil observasi, pengalaman lapangan hingga keberhasilan cakupan suatu program yang telah dianalis membuktikan bahwa peran serta masyarakat sangat menentukan terhadap keberhasilan, kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan. Penyebabnya ada dua faktor, yaitu dapat menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dan faktor kesinambungan (continuity) pelaksanaan program kesehatan. Dengan demikian, maka sebaiknya dan seyogyanya pengorganisasian kegiatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan harus dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Untuk mewujudkan desa siaga tidaklah semudah membaca visi-misi Departemen Kesehatan. Cakupan Desa Siaga di beberapa daerah/propinsi hingga tahun 2008 secara nasional baru mencapai 50%, di Sumatera Utara hingga tahun 2008 hanya mencapai 1.122 desa dari total 5.620 jumlah desa yang ada, di Jawa Timur baru mencapai 62%, dan di Kabupaten Malang hingga tahun 2008 baru mencapai 68%.
Kode Skripsi : K191
File skripsi ini meliputi :
- Bagian depan
- Bab 1-5 (Pendahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran-2 (Kuesioner, dll)
Bentuk file : Ms.word
Donasi : Rp. 100.000,-
Label:
KEBIDANAN,
KEDOKTERAN,
KEPERAWATAN,
KES MASYARAKAT
DAFTAR JUDUL SKRIPSI KEBIDANAN
note : Kalau halaman tidak ditemukan, silakan klik DISINI
K061 Gambaran Pengetahuan Wanita Pasangan Usia Subur Tentang Pemeriksaan Pap Smear Di Desa Wonorejo Kecamatan XX.
K062 Pengaruh Kehamilan Usia Remaja Terhadap Durasi Proses Persalinan Kala I Dan II Di Wilayah Kerja Puskesmas XX
K063 Gambaran Penurunan Libido Pada Akseptor KB Suntik 3 Bulanan Di Desa XX
K064 Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Peminatan Metode KB AKDR Di Desa XX
K065 Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia Di Desa XX
K067 Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Makanan Bergizi di Desa XX.
K068 Perbedaan Perkembangan Anak Usia Toddler (1-3 Tahun) Antara Ibu Bekerja Dan Tidak Bekerja di Posyandu XX.
K069 Gambaran Pertumbuhan Berat Badan Dan Panjang Badan Bayi Usia 0-6 Bulan Yang Diberi ASI Saja dan Yang Diberi Makanan Tambahan
K070 Sikap Ibu Hamil Terhadap Pelaksanaan Program Imunisasi Dasar Di Desa XX
K071 Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Trimester III Tentang Inisiasi Menyusu Dini Di Polindes XX
K072 Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Tentang Anemia Dengan Perilaku Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Fe Di Desa XX
K073 Perilaku keluarga dalam mencegah dan melakukan penanganan dini penyakit diare di rumah pada anak yang dirawat di Irna XX
K076 Keberhasilan kontrasepsi KB Suntik dalam perencanaan kehamilan pada ibu di desa XX
K077 Gambaran Fungsi Intelektual Lansia Di Posyandu Lansia Desa XX
K083 Gambaran Motivasi Akseptor KB dalam Memilih Metode Kontrasepsi IUD di Desa XX
K084 Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur Pada Anak Yang Terpasang Infus di RS XXX
K086 Gambaran Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Pada Lansia di Desa XX
K087 Analisis Perbedaan Berat Badan Sebelum Dan Sesudah Menggunakan KB Suntik Di BPS XX
K089 Pengaruh Latihan Gerak Pinggul (Stretching) Terhadap Tingkat Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia (Studi di Sanggar Senam Bagas Desa XX)
K090 Pengetahuan Ibu Tentang Cara Memeberikan ASI yang Baik pada Balita Usia 0 – 18 Bulan
K091 Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penanganan Diare Pada Anak Di Rumah Dengan Derajad Dehidrasi Pada Anak Diare Di RSX
K092. Sikap Perawat Tentang Pemenuhan Kebutuhan Bermain Pada Anak Usia Prasekolah
K093. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Minat Lansia Terhadap Posyandu Lansia
K095. Perubahan aktivitas seksual pada manusia lanjut usia (lansia)
K096. Hubungan tingkat pengetahuan informasi prabedah dengan tingkat kecemasan pasien praoperasi
K097. Pengaruh Pendampingan Suami Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Selama Proses Persalinan Normal di Ruang Bersalin RSX
K098. Hubungan Pola Perilaku Makan Ibu Post Partum dengan proses Penyembuhan Luka Episiotomi di Puskesmas XXX
K099. Hubungan Peran Keluarga Dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi Anak Dengan Status Gizi Anak Usia Prasekolah
K100. Pengaturan diet pada lansia dengan hipertensi di Desa XX
K101. Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Rupture Perineum Persalinan Normal Pada Primigravida Di BPS XXX
K102. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keenganan Akseptor Kb Untuk Menggunakan Alat Kontrasepsi Iud Di Puskesmas X
K103. Analisa Senam Hamil Pada Ibu Hamil Di Kelas Ibu Di Posyandu X
K104. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Ibu Terhadap Pemakaian Kontrasepsi Implant Di Desa X
K105. Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Fe Di Bps X
K106. Karakteristik Ibu yang Menyapih Bayinya di Bawah 1 tahun di Wilayah Puskesmas X
K109. Pengetahuan Remaja Awal (11-13 Tahun) Tentang Pengertian Dan Perubahan Fisik Pubertas Di Smp X
K110. Pengetahuan Ibu Primigravida Terhadap Perubahan Fisiologis Pada Masa Kehamilan Di Bps. X
K112. Pengetahuan Dan Sikap Ibu Primigravida Tentang Persiapan Persalinan Di Bps X
K156. Karakteristik Ibu Yang Memeriksakan Pap Smear Di Rumah Sakit X
K165. Gambaran Penyapihan Anak Kurang Dari 2 Tahun Di Desa X
K167. Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang Kehamilan Di Rb X
K168. Pengetahuan Tentang Bahaya Merokok Pada Siswa Kelas Ii Sma Negeri X
K169. Gambaran Penatalaksanaan Cara Memandikan Neonatus 0-7 Hari Terhadap Ibu Nifas Di Bps X
K170. Tingkat pengetahuan ibu tentang Anemia Dalam Kehamilan Di Bps X
K171. Penatalaksanaan Pencegahan Infeksi Pada Proses Pertolongan Persalinan Di Klinik X
K172. Cakupan Pemberian Vitamin A Pada Ibu Nifas Di Bps Wilayah Kerja X
K173. Karakteristik Ibu Hamil Yang Mengkonsumsi Tablet Fe Di Kelurahan X
K174. Gambaran Rendahnya Cakupan Penimbangan Balita Di Posyandu X
K175. Pengetahuan Dan Aplikasi Mahasiswi Tingkat Ii Akbid Xxxxxxxxx Tentang Partograf
K176. Gambaran Pengetahuan Primipara Terhadap Perkembangan Bayi 0-1 Tahun Di Kelurahan X
K178. Gambaran Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Terhadap Keputihan Di Desa X
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu Primigravida tentang cara Penanganan Ketidaknyamanan pada Kehamilan Trimester I
Pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya atau kegiatan menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya, pendidikan kesehatan berupaya agar seseorang menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan, kemana harus mencari pengobatan bila sakit, dan sebagainya. Kesehatan bukan hanya untuk diketahui atau disadari dan disikapi, melainkan harus dikerjakan atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti tujuan akhir dari pendidikan kesehatan adalah agar individu dapat mempraktikkan hidup sehat bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat, atau dapat berperilaku hidup sehat (health life style).
Perubahan fisik maupun perubahan hormonal pada setiap kehamilan dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan pada ibu hamil, yang akan menimbulkan keluhan ringan sampai yang berat. Ada beberapa ibu hamil yang sangat peka dan menganggap perubahan ini sebagai tanda kehamilan yang menyenangkan, tetapi ada pula yang merasakan hal ini sebagai suatu masalah.
Mual, kepala pusing, lelah, sampai muntah-muntah adalah masalah umum yang biasa dihadapi ibu hamil pada masa awal kehamilan. Gangguan atau ketidaknyamanan pada kehamilan ini biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor hormonal dan faktor variasi kejiwaan. Mual yang terjadi pada masa awal ibu hamil terjadi akibat perubahan hormon estrogen dan progesteron yang meningkat selama kehamilan dan memengaruhi fungsi organ-organ tubuh, termasuk fungsi lambung. Produksi asam lambung yang meningkat memicu timbulnya perasaan mual dan kerap dibarengi muntah.
Faktor psikologis dan aspek emosi memegang kendali pada kejadian mual (emesis gravidarum) pada graviditas yang berbeda (Rusdhy A, 2003). Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Setiap orang memiliki respons yang berbeda terhadap diagnosis kehamilan. Bagi sebagian wanita mungkin timbul perasaan gembira yang sangat dengan kehamilan yang sudah direncanakan, tetapi bagi sebagian lainnya yang belum siap, kehamilan dapat menjadi peristiwa yang mengejutkan dan bahkan menimbulkan keputusasaan karena mendengar berita tersebut dan membayangkan masalah sosial serta finansial yang harus ditanggungnya. Dengan adanya respon yang berbeda tersebut akan memunculkan masalah dan ketidaknyamanan umum pada kehamilan yaitu emesis gravidarum.
Kode Skripsi : K190
File skripsi ini meliputi :
Bentuk file : Ms.word (.doc)
Donasi : Rp. 125.000,-
Perubahan fisik maupun perubahan hormonal pada setiap kehamilan dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan pada ibu hamil, yang akan menimbulkan keluhan ringan sampai yang berat. Ada beberapa ibu hamil yang sangat peka dan menganggap perubahan ini sebagai tanda kehamilan yang menyenangkan, tetapi ada pula yang merasakan hal ini sebagai suatu masalah.
Mual, kepala pusing, lelah, sampai muntah-muntah adalah masalah umum yang biasa dihadapi ibu hamil pada masa awal kehamilan. Gangguan atau ketidaknyamanan pada kehamilan ini biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor hormonal dan faktor variasi kejiwaan. Mual yang terjadi pada masa awal ibu hamil terjadi akibat perubahan hormon estrogen dan progesteron yang meningkat selama kehamilan dan memengaruhi fungsi organ-organ tubuh, termasuk fungsi lambung. Produksi asam lambung yang meningkat memicu timbulnya perasaan mual dan kerap dibarengi muntah.
Faktor psikologis dan aspek emosi memegang kendali pada kejadian mual (emesis gravidarum) pada graviditas yang berbeda (Rusdhy A, 2003). Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Setiap orang memiliki respons yang berbeda terhadap diagnosis kehamilan. Bagi sebagian wanita mungkin timbul perasaan gembira yang sangat dengan kehamilan yang sudah direncanakan, tetapi bagi sebagian lainnya yang belum siap, kehamilan dapat menjadi peristiwa yang mengejutkan dan bahkan menimbulkan keputusasaan karena mendengar berita tersebut dan membayangkan masalah sosial serta finansial yang harus ditanggungnya. Dengan adanya respon yang berbeda tersebut akan memunculkan masalah dan ketidaknyamanan umum pada kehamilan yaitu emesis gravidarum.
Kode Skripsi : K190
File skripsi ini meliputi :
- Bagian Depan (Daftar isi, dll)
- Bab 1-5 (Pendahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran-lampiran (Instrumen, analisis data, dll)
Bentuk file : Ms.word (.doc)
Donasi : Rp. 125.000,-
Hubungan antara pengetahuan remaja tentang perubahan fisik pubertas dengan penyimpangan perilaku seksual di SMP X
Perubahan yang terjadi pada masa remaja diantaranya adalah timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif. Untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan biofisiko-psikososial. Perubahan fisik pubertas dimulai sekitar usia 10 atau 11 tahun pada remaja putri, kira-kira 2 tahun sebelum perubahan pubertas pada remaja laki-laki. Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja, sementara itu perhatian remaja sangat besar terhadap penampilan dirinya sehingga mereka sering merisaukan bentuk tubuhnya yang kurang proporsional tersebut.
Selain yang terlihat dari penampilan luar, perubahan juga terjadi di dalam tubuh dan tidak tampak dari luar. Otak akan mengeluarkan zat-zat kimia yang disebut hormon. Hormon ini akan mempengaruhi perubahan fisik dan emosi seseorang pada masa pubertas. Rahim, saluran telur, indung telur, rongga panggul dan vagina pada remaja perempuan, tumbuh dan bersiap untuk melakukan fungsi dan proses reproduksi yang ditandai dengan adanya siklus Menstruasi. Pada remaja laki-laki, prostat dan seminal, uretra (saluran kencing), testis (buah zakar), dan penis juga tumbuh membesar dan mulai mengeluarkan cairan yang gunanya sebagai tempat berkembangnya sperma serta diproduksinya sperma yang ditandai dengan mimpi basah. Ketika remaja perempuan sudah mengalami menstruasi dan menghasilkan sel telur, dan remaja laki-laki sudah mengalami mimpi basah dan menghasilkan sperma, maka remaja sudah dapat bereproduksi dan menghasilkan anak. Perempuan bisa hamil dan laki-laki bisa menghamili.
Perubahan-perubahan biopsikososial pada masa pubertas tersebut perlu diketahui oleh remaja. Pemahaman tentang perkembangan seksual pada remaja merupakan salah satu pemahaman yang penting sebab masa remaja merupakan masa peralihan dari perilaku seksual anak-anak menjadi perilaku seksual dewasa. Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja sendiri termasuk keluarganya. Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual yang kurang sehat di kalangan remaja.
Namun harus diakui bahwa sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, berbicara soal seks masih dianggap masalah yang tabu. Oleh karenanya, jarang sekali dijumpai pembicaraan perihal seks tersebut secara terbuka. Namun di sisi lain (fakta yang tak terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Penelitian Pangkahila di Bali (1981) terhadap remaja awal mendapatkan data 56% remaja pernah melakukan ciuman bibir, 31% pernah dirangsang alat kelaminnya, dan 25% pernah melakukan hubungan seksual. Berbagai bentuk perilaku seksual remaja yang lain dari beberapa hasil penelitian diantaranya melakukan cium bibir, cium pipi, memegang alat vital lawan jenis, menyenggol, meraba, memegang dan membelai bagian tubuh yang peka milik lawan jenisnya (Notoatmodjo, 2007:269).
Kode Skripsi : K177
Skripsi sini meliputi :
Bentuk file : ms.word (.doc)
Donasi : Rp. 100.000,-
Selain yang terlihat dari penampilan luar, perubahan juga terjadi di dalam tubuh dan tidak tampak dari luar. Otak akan mengeluarkan zat-zat kimia yang disebut hormon. Hormon ini akan mempengaruhi perubahan fisik dan emosi seseorang pada masa pubertas. Rahim, saluran telur, indung telur, rongga panggul dan vagina pada remaja perempuan, tumbuh dan bersiap untuk melakukan fungsi dan proses reproduksi yang ditandai dengan adanya siklus Menstruasi. Pada remaja laki-laki, prostat dan seminal, uretra (saluran kencing), testis (buah zakar), dan penis juga tumbuh membesar dan mulai mengeluarkan cairan yang gunanya sebagai tempat berkembangnya sperma serta diproduksinya sperma yang ditandai dengan mimpi basah. Ketika remaja perempuan sudah mengalami menstruasi dan menghasilkan sel telur, dan remaja laki-laki sudah mengalami mimpi basah dan menghasilkan sperma, maka remaja sudah dapat bereproduksi dan menghasilkan anak. Perempuan bisa hamil dan laki-laki bisa menghamili.
Perubahan-perubahan biopsikososial pada masa pubertas tersebut perlu diketahui oleh remaja. Pemahaman tentang perkembangan seksual pada remaja merupakan salah satu pemahaman yang penting sebab masa remaja merupakan masa peralihan dari perilaku seksual anak-anak menjadi perilaku seksual dewasa. Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja sendiri termasuk keluarganya. Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual yang kurang sehat di kalangan remaja.
Namun harus diakui bahwa sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, berbicara soal seks masih dianggap masalah yang tabu. Oleh karenanya, jarang sekali dijumpai pembicaraan perihal seks tersebut secara terbuka. Namun di sisi lain (fakta yang tak terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Penelitian Pangkahila di Bali (1981) terhadap remaja awal mendapatkan data 56% remaja pernah melakukan ciuman bibir, 31% pernah dirangsang alat kelaminnya, dan 25% pernah melakukan hubungan seksual. Berbagai bentuk perilaku seksual remaja yang lain dari beberapa hasil penelitian diantaranya melakukan cium bibir, cium pipi, memegang alat vital lawan jenis, menyenggol, meraba, memegang dan membelai bagian tubuh yang peka milik lawan jenisnya (Notoatmodjo, 2007:269).
Kode Skripsi : K177
Skripsi sini meliputi :
- Bagian depan (daftar isi, dll)
- Bab 1-5 (Pebdahuluan s/d Penutup)
- Daftar Pustaka
- Lampiran2 (kuesioner, analisis data, dll)
Bentuk file : ms.word (.doc)
Donasi : Rp. 100.000,-
Langganan:
Postingan (Atom)