Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan system syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa sesudahnnya (Purwati,2007). Salah satu penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak anak, yang berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan maupun setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya kongenital Rubella, Herpez Simplex Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
Prevalensi autisme pada anak berkisar 2 – 5 penderita dari 10.000 anak – anak dibawah 12 tahun. Apabila retardasi (keterbelakangan mental) berat dengan beberapa gambaran autisme dimasukkan, maka angkanya meningkat menjadi 20 penderita dari 10.000 anak. Rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan. Bahkan diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi anak di seluruh dunia.
Anak autisme terisolasi dari lingkungan dan hidup di dunianya sendiri, tidak bisa berbicara secara normal, berkomunikasi, berhubungan dengan orang lain dan belajar berinteraksi dengan seseorang. Penyandang autisme pada umumnya tidak mampu mengembangkan permainan yang kreatif dan imajinatif. Oleh karena itu mereka membutuhkan stimulasi agar bisa mengembangkan daya kreativitas dan imajinasinya untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain.
Terapi autisme menurut Tjin Wiguna (2002) yang ditulis oleh Astuti (2007) adalah penatalaksanaan anak dengan gangguan autisme secara terstruktur dan berkesinambungan untuk mengurangi masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan anak sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya dan bersifat multi disiplin yang meliputi: (1) terapi perilaku berupa ABA (Applied Behaviour Analysis), (2) terapi biomedik (medikamentosa), (3) terapi tambahan lainnya yaitu, terapi wicara, terapi sensory integration, terapi musik, terapi diet, dll .
Penelitian membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembanngan IQ (Intelegent Quotient) dan EQ (Emotional Quotient). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Para peneliti juga menemukan bahwa musik dapat meningkatkan kreativitas, memperbaiki kepercayaan diri, mengembangkan ketrampilan sosial, menaikkan perkembangan motorik persepsi dan perkembangan psikomotor. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan ahli saraf dari Universitas Harvard, Mark Tramo , (2006). Ia mengatakan, di dalam otak terdiri dari jutaan neuron yang menyebar di otak akan menjadi aktif saat mendengarkan musik. Rangsangan neuron itulah yang meningkatkan kecerdasan. Maka dari itu, diperlukan suatu kerjasama antara tenaga pendidik, tenaga medis, termasuk perawat serta psikiatri atau psikolog agar dapat mendeteksi dini dan untuk penanganan secara cepat dan tepat bagi para penderita autis .
Kode File : K060
File skripsi ini meliputi :
a. Bab I – VII (pendahuluan – penutup) lengkap
b. Daftar Pustaka
Donasi: Rp. 60.000,-
Kirimminn akku file ini...
BalasHapus